Setiap waktu ada pelajaran dan hikmah yang dapat diambil. Senang dan sedih, puas dan kecewa, semangat dan putus asa selalu berpasangan dalam perjalanan hidup manusia. Beragam suasana hati telah menjelma di antara sukses atau gagal dalam berkarya. Menjadi barometer tingkat keikhlasan hati terhadap ketentuan Sang Maha Pencipta.
Bulan Maret telah kulewati bersama harapan dan cita. Mengawal dan mendampingi sepuluh siswa dan berharap mereka akan menghasilkan karya. Ternyata benar, menulis bukanlah hal yang mudah dan instan. Menulis butuh waktu untuk berproses. Belajar dengan semangat dan terus belajar untuk menjadi berkualitas. Apalagi bagi penulis pemula yang hanya tiga kali pertemuan dalam mengikuti pelatihan.
Inilah tiga alasan bagi mereka untuk tidak melanjutkan karyanya. Alasan ini terkuak setelah dilakukan pendekatan dari hati ke hati oleh guru pendampingnya. Tiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
- Kurangnya dukungan orang tua
Suatu hari Elin menemuiku dengan wajah sendu. Benar saja, tak lama kemudian dia meneteskan air mata. Kutarik lengannya dan kudekati dia. Ada apa? Apa yang membuatmu tiba-tiba menangis di depanku?
Wajah Elin memerah, dengan sedih dia meminta maaf tidak bisa melanjutkan karya novelnya. Mengapa? Di antara buliran air mata yang masih menetes di kedua pipinya, dia mengatakan karena ada tekanan dan perlakuan yang kurang menyenangkan dari ayahnya. Ayah Elin tidak mendukung perjalanan bakat yang dimiliki putrinya. Bahkan sempat mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas dikeluarkan oleh seorang ayah.
Ini masalah keluarga yang tidak harmonis. Antara ayah dan ibu tidak sejalan dan seirama dalam membimbing dan mengasuh putrinya. Padahal untuk melanjutkan karya deadline tinggal menghitung hari saja. Menurutku, apa pun yang akan kulakukan akan berdampak yang kurang maksimal. Karena benturan dari kedua orang tuanya, maka kuhanya bisa menghibur Elin dan mencoba menghentikan tangisnya.
- Durasi Waktu
Durasi waktu yang sangat pendek, mustahil bisa dilewati oleh penulis yang benar-benar baru memulainya. Walaupun telah dilakukan pendampingan, namun dengan ketebalan mencapai lima puluh halaman itu sangat berat bagi penulis pemula.
Maka hal ini menjadi salah satu penyebab mundurnya siswaku dalam melanjutkan karyanya. Ibarat seekor ayam betina yang sedang erami telur-telurnya. Dalam hitungan sampai duapuluh satu hari, maka pecahnya telur-telur yang dierami sehingga berubah wujud menjadi seekor anak ayam yang berbulu cantik dan menawan. Namun ada juga telur-telur yang beruba warna jadi kelabu dan berbau busuk. Begitulah gambaran sepuluh siswaku yang sedang berjuang, namun hanya ada satu yang berhasil rampungkan karyanya.
- Biaya Penerbitan yang Mahal
Menjadi tantangan berikutnya adalah masalah finansial. Ini menjadi salah satu faktor mengapa banyak teman-teman tidak tertarik menulis dan berlomba-lomba menghasilkan karya berupa buku. Mereka berpandangan bahwa menulis itu susah, memeras otak untuk menghasilkan karya dan belum lagi harus menyiapkan dana untuk proses penerbitannya. Daripada dipakai untuk biaya menerbitkan buku, lebih baik dipakai untuk biaya yang lain, seperti untuk shopping, kuliner, atau healing (jalan-jalan).
Teman-teman seprofesi saja berpandangan seperti itu, apalagi bagi seorang siswa. Satu siswa dari Sembilan siswa lain telah mengundurkan diri tentu harus kuperjuangkan. Mau tahu apa yang telah kulakukan? Kucoba lakukan pendekatan dan komunikasikan dengan orang tua siswa. Selanjutnya kusampaikan selamat karena putrinya sudah berhasil menghadapi tantangan dalam berkarya. Kucoba memberikan pandangan proses yang harus dilalui hingga naskah diproses sehingga bisa diterbitkan.
Alhasil, orang tua siswa juga merasa keberatan dengan biaya yang sangat mahal. Kucoba lagi bertanya sampai dimana kemampuan finansialnya. Akhirnya kutawarkan solusi untuk memikul beban ini secara bersama-sama. Berkontribusi separuh ditanggung orang tua dan separuh lagi ditanggung oleh sekolah.

Tantangan yang tidak mudah. Hanya penulis pejuang yang akan menaklukkan tantangan itu. Semoga anak-anak didik kita memenuhi kriteria tersebut.