Aku tatap langit penuh warna. Keindahan alam kunikmati bersama merdunya suara kicauan burung. Bagai di tengah hamparan sawah yang luas membentang. Capung terbang dengan ketinggian di atas padi-padi yang mulai menguning. Kusandarkan tubuhku di pohon yang rindang. Berharap lelah akan sirnah karenanya.
Bayang-bayang melintas dipikiran. Bertarung ingin menang dalam pertandingan. Pertandingan menuju nasib agar berubah menjadi lebih baik. Kukejar mimpi meraih gelar sarjana. Walau ekonomi orang tuaku tak seberapa. Pagi menjadi guru Umar Bakeri, siang layani orang-orang di pinggir trotoar. Jajakan minuman setiap hari dilakukan, untuk menambah penghasilan.
Sementara tiga orang anak siap melaporkan kebutuhan bulanan. Denok, Wulan, dan Panji bergantian sampaikan perkembangan studinya.
“Pak, seminggu lagi akan dilaksanakan Ujian Negara Cicilan. Per mata ujian ada biaya sebesar tiga puluh tujuh ribu limaratus rupiah. Rencana Denok akan mengambil lima mata ujian, pak,” begitulah anak sulung sampaikan perkembangan studinya kepada bapak guru Umar Bakeri.
Tak berselang lama, datanglah Panji mendekat dan menyampaikan seluruh kebutuhan studinya. “Bapak, sekarang bulan Maret. Artinya akhir bulan ini Panji harus membayar kos dan makan. Ada satu lagi pak, Panji juga rencana ambil Ujian Cicilan Negara sama seperti kak Denok. Bagaimana pak…? Tanya Panji sambil menunggu respon bapak guru Umar Bakeri.
“Denok….Panji…, Insya Allah kebutuhan untuk kalian akan bapak usahakan sebelum waktu pelaksanaan Ujian. Sambil berkemas, bapak guru Umar Bakeri bersiap mengayuh sepeda anginnya menemui murid-murid di sekolah.
Dari jauh kupandangi punggung bapak guru Umar Bakeri. Mengayuh sepeda dengan membawa beban berat di pundaknya. Hati teriris, jiwa bergerak ingin melakukan sesuatu. Tapi apa dan bagaimana? Aku tak tahu.
Tiba-tiba pikiran Wulan bertarung, dan berharap ada setitik terang menjadikan solusi terbaik. Entah tiba-tiba saja pikiran Wulan mengajaknya untuk meringankan beban bapak guru Umar Bakeri.
“Wulan…kamu harus bangkit. Kamu harus lakukan sesuatu agar beban bapak guru Umar Bakeri tidak semakin menggunung. Ayo lakukan sesuatu, karena kamu satu-satunya anak yang melanjutkan studi di PTN. Banyak kesempatan yang dapat kamu lakukan untuk meringankannya.” begitulah suara hati bergemuruh mengajak si Wulan (anak kedua bapak guru Umar Bakeri) untuk mencarikan solusi.
Sejak saat itu, semangat si Wulan seakan terbakar. Membakar jiwanya agar studi yang dijalaninya segera berakhir dan menyandang gelar sarjana. Tidak banyak yang Wulan lakukan untuk bapak guru Umar Bakeri. Hanya satu kebulatan tekad, yakni harus dapat menyelesaikan studinya lebih cepat dari kak Denok dan adik Panji.
“Wulan…jika kamu tak mampu membantu meringankan seluruh biaya yang ditanggung bapak guru Umar Bakeri, menurutku ada jalan lain dan yakinilah bahwa jalan itu sangat membantunya. Wulan…kamu harus segera selesaikan studimu, gelar sarjana harus kamu raih dengan waktu lebih cepat dari saudara-saudaramu.” Begitulah pertarungan yang terjadi di dalam sanubari si Wulan.
Alhamdulillah…si Wulan berhasil mengikuti kata hatinya. Kini tepat 1 September 1993 si Wulan memakai baju Toga (baju kebesaran Sarjana). Di depan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, Wulan dan kawan-kawan dinyatakan Lulus dan resmi menyandang gelar Sarjana.
Tetesan air mata bangga bercampur bahagia mengalir di wajah bapak guru Umar Bakeri dan ibunda. Hari ini kebesaran dan kemuliaan Sang Maha Berkehendak dan Yang Maha Kaya telah memberinya anugerah kenikmatan yang luar biasa. Bapak guru Umar Bakeri yang sabar dan bijaksana beserta ibunda telah berhasil mengantarkan si Wulan (anak keduanya) menjadi seorang Sarjana.
